Monday, 26 September 2016

Filosofi Kesedihan (Cerpen)


Oleh : Asih Purwanti

Ketika teman-temanku sibuk mengumbar foto-foto kemesraan dengan pasangannya di media sosial, aku tengah patah hati karena seseorang yang kucintai diam-diam telah menikah dengan orang lain, juga secara diam-diam. Bahkan aku tidak diberikan kesempatan mengatakan perasaan yang berkecamuk dalam hatiku.
Ketika saudaraku yang cantik itu sukses dengan karirnya dan dipuji oleh keluarga besarku, aku tengah merasakan betapa sakit hatinya tidak memiliki uang sepeserpun di dompetku yang kumal. Padahal betapa ingin sekali aku membeli buku karangan Andrea Hirata yang fenomenal itu.
Ketika salah seorang sahabatku menikah, aku datang memenuhi undangan pernikahannya sendirian, di tengah orang-orang yang berpasangan dengan pandangan tanya ditambah sedikit raut kasihan.
Dan ketika teman-teman kerjaku dijemput oleh kerabat dan pacar-pacar mereka saat pulang kerja di malam hari, aku tengah menunggu angkutan umum sendirian dengan rasa cemas dan ketakutan yang tak terhingga akan teror kriminal yang marak terjadi, mulut dan hatiku komat-kamit merapal doa-doa agar aku selamat sampai rumah.
Kesedihanku telah bermetamorfosis menjadi kesedihan yang paling sedih. Aku dan kesedihan diibaratkan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan, sehingga kami bersahabat erat. Apabila kesedihan datang tiba-tiba, aku menjamunya dengan baik, memberikan tempat yang paling layak di dada bagian kiri, beberapa sentimeter jaraknya dengan jantung, sehingga terciptalah filosofi kesedihan versiku sendiri.
Aku tidak berharap orang lain merasakan kesedihan yang sama denganku, maka aku membantu orang-orang agar terhindar dari kesedihan semampuku. Aku turut mendoakan mereka bahkan mendoakan orang-orang yang paling kubenci sekalipun, agar selalu bahagia bersama pasangan-pasangan mereka, bersama keluarga-keluarga mereka. Aku tidak sejahat Rahwana yang tega menculik Shinta dari tangan Rama, bahkan tidak sebusuk Matterazi dengan kata-katanya yang tidak masuk akal yang dilontarkannya kepada Zinedine Zidane, sehingga pemain Perancis itu marah dan menyundul dada Matterazi di tengah-tengah pertandingan piala dunia 2005, yang pada akhirnya pemain yang sering disapa Zizau itu mendapatkan kartu merah.
Kesedihan yang kerap datang di tengah-tengah serbuk gerimis, tak akan menciptakan kebencian sedikitpun pada Sang Penabur Kesedihan itu sendiri, tenang saja, aku dapat menerimanya, penerimaan yang indah. Aku selalu berfikir, bahwa kesedihan yang kerap Dia taburkan kepadaku merupakan kesedihan yang kalah saing sedihnya dengan orang-orang di luar sana yang mendapatkan jatah kesedihan paling besar. Kesedihanku hanya seujung kuku jari kelingking kaki yang nyaris tak terlihat.
Kesedihan yang menguar di seantero kisi-kisi kehidupanku, selebihnya hanya menjadi puing dan nyaris tiada, ketika seseorang datang menyapa hatiku lagi yang dipenuhi kesedihan dan sejumput kenangan buruk tentang cinta.
Namun hanya dalam beberapa purnama, akupun kembali melontarkan alunan patah hati tanpa sempat melontarkan kata-kata puitis tentang cinta dan percintaan kepada seseorang yang kuyakini akan menjadi pelipur lara bahagiaku. Tapi aku masih bisa tertawa.
Cita-citaku yang telah kandas sebelum mengembangkan sayapnya di kancah kehidupan, membuatku terjatuh dan tak dapat bangkit lagi, lalu memutuskan untuk meninggalkan segala harap dan impian yang dulu tertancap di urat nadi. Untuk bercengkrama dengan kesedihan dan segala hal-hal sepi lainnya. Aku bermaskud untuk mengubur setiap asa tentang mimpi-mimpi.
Akupun hanya menjadi saksi kesuksesan saudara-saudaraku dan juga sahabat-sahabatku, karir yang gemilang lalu disunting pria muda kaya raya yang hartanya tak akan membuat jatuh miskin hingga tujuh turunan. Aku hanya menjadi penonton terbaik mereka meraih kegemilangan hidup, tanpa ada maksud untuk merubah hidupku yang sepi.
Kehidupanku yang terlampau sepi memungkinkanku untuk diundang di acara-acara bergengsi, memutar lagu-lagu patah hati, menjadi motivator kesedihan paling sukses. Mungkin namaku akan masuk nominasi dalam kategori cewek paling sedih terfavorit pada ajang-ajang bergengsi dengan tema-tema kesedihan.
Ketika orang-orang seusiaku berbondong-bondong mendaftarkan nama mereka di KUA, aku tengah menelaah isi buku Supernova yang sulit aku mengerti. Lalu ibuku datang dengan muka masam sambil berkacak pinggang dan mengeluarkan jurus jitu yang menohok ulu hatiku, “mau sampai kapan kau begini terus? Ibumu sudah tua dan tak akan menemanimu selamanya, membaca buku tidak akan membuatmu menjadi penulis besar dan bla bla bla…” Selanjutnya tidak akan aku teruskan, karena akan membuat kalian yang membacanya ikut sedih, untuk itu biarlah aku saja yang menelan kesedihan itu sendirian.
Aku tahu menjalani siklus menikah juga merupakan hal yang penting untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar tidak mengalami kepunahan. Tapi pernikahan bukan ajang balapan, bukan perlombaan yang mengandalkan kecepatan, bahwa yang tercepat dialah pemenangnya. Pernikahan itu adalah sesuatu yang sakral, dan tak akan pernah habis dibahas.
Pun dengan karirku yang tak akan menunjukan grafik kesuksesan meskipun aku mengabdi selama bertahun-tahun, takkan ada jaminan yang mengharuskanku naik ke kursi supervisor atau manager sekalipun, meskipun ukiran prestasi bertebaran di ruangan berAC milik sang owner. Gajiku hanya cukup untuk menemaniku ke toko buku, tanpa sempat memikirkan wajah dan kulitku yang semakin hari semakin tidak karuan, karena tidak pernah berkenalan dengan serum-serum kecantikan yang diobral di salon-salon kecantikan di kotaku.
Kulihat, perempuan seusiaku berlalu lalang dengan pasangan dan anak mereka, si laki-laki membawa barang belanjaan yang riuh, dan si perempuan menggendong anak mereka yang kutaksir baru beberapa bulan lahir ke dunia. Di kaos yang mereka kenakan tertulis mamah muda, papah muda dan ananda imut, pesan itu menandakan bahwa kehidupan mereka amat bahagia. Saat itu aku tengah dimarahi oleh MD karena penjualan produk turun drastis jauh melampaui omzet yang tertera di laporan bulananku, hal itu terjadi selama dua bulan berturut-turut. Jika bulan depan laporan penjualan tidak meningkatkan grafik aman, maka kesedihan yang sempurna akan menimpaku. Dan aku masih menyunggingkan tawa kepada teman-teman yang mencoba menghiburku. Aku tidak menunjukan bahwa karierku tengah di ujung tanduk.
Kesedihan mengajarkanku apa artinya kenyamanan, meleset dari lagu yang dinyanyikan Rizky Fabian yang sering aku dengar di radio-radio swasta. Kesedihan pula yang membuatku menjadi manusia paling tegar sedunia.
Meskipun aku tahu, kesedihan tidak mengizinkanku keluar dari areanya, namun aku berkeyakinan bahwa suatu saat nanti aku akan menemukan seseorang dengan kesedihan tingkat akut agar dapat berbagi kesedihan denganku. Lalu kami akan bertukar cerita tentang kisah-kisah paling sedih yang pernah dilalui dan membandingkan mana kisah tersedih diantara kami, untuk kami pahat dalam palung hati masing-masing bahwa kesedihan juga mendatangkan kebahagiaan. Dan aku yakin akan menemukan siapa orang itu.















NB : Cerpen ini aku tulis ketika aku sedang benar-benar sedih....