Oleh : Asih Purwanti
Ketika teman-temanku sibuk mengumbar foto-foto
kemesraan dengan pasangannya di media sosial, aku tengah patah hati karena
seseorang yang kucintai diam-diam telah menikah dengan orang lain, juga secara
diam-diam. Bahkan aku tidak diberikan kesempatan mengatakan perasaan yang
berkecamuk dalam hatiku.
Ketika saudaraku yang cantik itu sukses dengan
karirnya dan dipuji oleh keluarga besarku, aku tengah merasakan betapa sakit
hatinya tidak memiliki uang sepeserpun di dompetku yang kumal. Padahal betapa
ingin sekali aku membeli buku karangan Andrea Hirata yang fenomenal itu.
Ketika salah seorang sahabatku menikah, aku datang
memenuhi undangan pernikahannya sendirian, di tengah orang-orang yang
berpasangan dengan pandangan tanya ditambah sedikit raut kasihan.
Dan ketika teman-teman kerjaku dijemput oleh kerabat
dan pacar-pacar mereka saat pulang kerja di malam hari, aku tengah menunggu
angkutan umum sendirian dengan rasa cemas dan ketakutan yang tak terhingga akan
teror kriminal yang marak terjadi, mulut dan hatiku komat-kamit merapal doa-doa
agar aku selamat sampai rumah.
Kesedihanku telah bermetamorfosis menjadi kesedihan
yang paling sedih. Aku dan kesedihan diibaratkan dua sisi mata uang yang tak
bisa dipisahkan, sehingga kami bersahabat erat. Apabila kesedihan datang
tiba-tiba, aku menjamunya dengan baik, memberikan tempat yang paling layak di
dada bagian kiri, beberapa sentimeter jaraknya dengan jantung, sehingga
terciptalah filosofi kesedihan versiku sendiri.
Aku tidak berharap orang lain merasakan kesedihan yang
sama denganku, maka aku membantu orang-orang agar terhindar dari kesedihan
semampuku. Aku turut mendoakan mereka bahkan mendoakan orang-orang yang paling
kubenci sekalipun, agar selalu bahagia bersama pasangan-pasangan mereka,
bersama keluarga-keluarga mereka. Aku tidak sejahat Rahwana yang tega menculik
Shinta dari tangan Rama, bahkan tidak sebusuk Matterazi dengan kata-katanya
yang tidak masuk akal yang dilontarkannya kepada Zinedine Zidane, sehingga pemain
Perancis itu marah dan menyundul dada Matterazi di tengah-tengah pertandingan
piala dunia 2005, yang pada akhirnya pemain yang sering disapa Zizau itu
mendapatkan kartu merah.
Kesedihan yang kerap datang di tengah-tengah serbuk
gerimis, tak akan menciptakan kebencian sedikitpun pada Sang Penabur Kesedihan
itu sendiri, tenang saja, aku dapat menerimanya, penerimaan yang indah. Aku
selalu berfikir, bahwa kesedihan yang kerap Dia taburkan kepadaku merupakan
kesedihan yang kalah saing sedihnya dengan orang-orang di luar sana yang
mendapatkan jatah kesedihan paling besar. Kesedihanku hanya seujung kuku jari kelingking
kaki yang nyaris tak terlihat.
Kesedihan yang menguar di seantero kisi-kisi
kehidupanku, selebihnya hanya menjadi puing dan nyaris tiada, ketika seseorang
datang menyapa hatiku lagi yang dipenuhi kesedihan dan sejumput kenangan buruk
tentang cinta.
Namun hanya dalam beberapa purnama, akupun kembali
melontarkan alunan patah hati tanpa sempat melontarkan kata-kata puitis tentang
cinta dan percintaan kepada seseorang yang kuyakini akan menjadi pelipur lara bahagiaku. Tapi aku masih bisa tertawa.
Cita-citaku yang telah kandas sebelum mengembangkan
sayapnya di kancah kehidupan, membuatku terjatuh dan tak dapat bangkit lagi,
lalu memutuskan untuk meninggalkan segala harap dan impian yang dulu tertancap
di urat nadi. Untuk bercengkrama dengan kesedihan dan segala hal-hal sepi
lainnya. Aku bermaskud untuk mengubur setiap asa tentang mimpi-mimpi.
Akupun hanya menjadi saksi kesuksesan
saudara-saudaraku dan juga sahabat-sahabatku, karir yang gemilang lalu
disunting pria muda kaya raya yang hartanya tak akan membuat jatuh miskin
hingga tujuh turunan. Aku hanya menjadi penonton terbaik mereka meraih
kegemilangan hidup, tanpa ada maksud untuk merubah hidupku yang sepi.
Kehidupanku yang terlampau sepi memungkinkanku untuk
diundang di acara-acara bergengsi, memutar lagu-lagu patah hati, menjadi
motivator kesedihan paling sukses. Mungkin namaku akan masuk nominasi dalam
kategori cewek paling sedih terfavorit pada ajang-ajang bergengsi dengan
tema-tema kesedihan.
Ketika orang-orang seusiaku berbondong-bondong
mendaftarkan nama mereka di KUA, aku tengah menelaah isi buku Supernova yang
sulit aku mengerti. Lalu ibuku datang dengan muka masam sambil berkacak
pinggang dan mengeluarkan jurus jitu yang menohok ulu hatiku, “mau sampai kapan
kau begini terus? Ibumu sudah tua dan tak akan menemanimu selamanya, membaca
buku tidak akan membuatmu menjadi penulis besar dan bla bla bla…” Selanjutnya
tidak akan aku teruskan, karena akan membuat kalian yang membacanya ikut sedih,
untuk itu biarlah aku saja yang menelan kesedihan itu sendirian.
Aku tahu menjalani siklus menikah juga merupakan hal
yang penting untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar tidak mengalami
kepunahan. Tapi pernikahan bukan ajang balapan, bukan perlombaan yang
mengandalkan kecepatan, bahwa yang tercepat dialah pemenangnya. Pernikahan itu
adalah sesuatu yang sakral, dan tak akan pernah habis dibahas.
Pun dengan karirku yang tak akan menunjukan grafik
kesuksesan meskipun aku mengabdi selama bertahun-tahun, takkan ada jaminan yang
mengharuskanku naik ke kursi supervisor atau manager sekalipun, meskipun ukiran
prestasi bertebaran di ruangan berAC milik sang owner. Gajiku hanya cukup untuk
menemaniku ke toko buku, tanpa sempat memikirkan wajah dan kulitku yang semakin
hari semakin tidak karuan, karena tidak pernah berkenalan dengan serum-serum
kecantikan yang diobral di salon-salon kecantikan di kotaku.
Kulihat, perempuan seusiaku berlalu lalang dengan
pasangan dan anak mereka, si laki-laki membawa barang belanjaan yang riuh, dan
si perempuan menggendong anak mereka yang kutaksir baru beberapa bulan lahir ke
dunia. Di kaos yang mereka kenakan tertulis mamah muda, papah muda dan ananda
imut, pesan itu menandakan bahwa kehidupan mereka amat bahagia. Saat itu aku
tengah dimarahi oleh MD karena penjualan produk turun drastis jauh melampaui
omzet yang tertera di laporan bulananku, hal itu terjadi selama dua bulan
berturut-turut. Jika bulan depan laporan penjualan tidak meningkatkan grafik
aman, maka kesedihan yang sempurna akan menimpaku. Dan aku masih menyunggingkan
tawa kepada teman-teman yang mencoba menghiburku. Aku tidak menunjukan bahwa
karierku tengah di ujung tanduk.
Kesedihan mengajarkanku apa artinya kenyamanan,
meleset dari lagu yang dinyanyikan Rizky Fabian yang sering aku dengar di
radio-radio swasta. Kesedihan pula yang membuatku menjadi manusia paling tegar
sedunia.
Meskipun aku tahu, kesedihan tidak mengizinkanku
keluar dari areanya, namun aku berkeyakinan bahwa suatu saat nanti aku akan menemukan
seseorang dengan kesedihan tingkat akut agar dapat berbagi kesedihan denganku. Lalu
kami akan bertukar cerita tentang kisah-kisah paling sedih yang pernah dilalui
dan membandingkan mana kisah tersedih diantara kami, untuk kami pahat dalam
palung hati masing-masing bahwa kesedihan juga mendatangkan kebahagiaan. Dan
aku yakin akan menemukan siapa orang itu.
![]() |
NB : Cerpen ini aku tulis ketika aku sedang benar-benar sedih....