Saturday, 11 February 2017

Ketika Cahaya Itu Redup (cerpen)


Oleh : Asih Purwanti 

Sibba
Bulan tampak menyembul malu-malu di langit hitam yang tak berbintang, seolah-olah sang bulan ingin  menampilkan sebuah mahakarya malam. Aku terduduk melamun sendirian menatap sang bulan yang nyaris bulat penuh, memikirkan nasibku yang tak berubah dari hari ke hari. Sudah belasan lamaran sudah kusebarkan ke seantero toko dan depertement store, dari mulai pertokoan milik orang-orang beretnis china sampai toko-toko pakaian milik orang Padang.
            Aku memang harus menelan pil pahit akan keputusan kedua orang tuaku untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, disamping masalahnya dari segi financial, aku juga harus berusaha untuk mengalah dan tidak iri melihat adik perempuanku itu melanjutkan universitas.
“kau tidak usah melanjutkan kuliah saja Sibba!cari pekerjaan saja!” kata ayahku suatu hari saat aku mengemukakan keinginanku untuk melanjutkan kuliah.
“tapi yah, aku ingin sekali kuliah, lagian aku pengen jadi guru yah.” Belaku tetap menginginkan kemauanku.
“jadi guru, nilai-nilaimu saja pas-pasan, kalau kau mau kuliah biayai saja sendiri! ayah tidak punya cukup biaya untuk membiayaimu kuliah” sembur ayahku, aku hanya diam menahan tangis.
            Tak dinyana, betapa remuk hatiku saat kutahu kalau Lamya, adik perempuanku yang hanya terpaut satu tahun dibawahku itu disuruh oleh ayah untuk melanjutkan kuliah, dengan jurusan yang kuidam-idamkan.
“yah, kenapa Lamya disuruh kuliah sedangkan aku tidak?” protesku pada ayah setelah ayah mendaftarkan Lamya di Universitas Siliwangi.
“adikmu itu juara kelas, dia pintar, sekolahnya juga sekolah unggulan, sayang kalau tidak diteruskan” kilah ayahku membuat hatiku panas. Ibuku hanya terdiam seraya mengusap-usap rambut tipisku.
            “Apakah aku anak pungut?” kataku pada ibu saat ayahku membelikan laptop untuk Lamya, sedangkan aku tidak. Ibu hanya berusaha untuk menenangkanku dengan segala nasihat agar jangan iri pada saudara sendiri. Aku mulai merasakan kalau kasih sayang ayah hanya untuk Lamya, terlebih aku hanya jadi pengganggu saja.
Lamya memang gadis yang istimewa, selain dia memiliki wajah yang cantik, dia juga cerdas dan supel. Membuat orang lain ingin berada di dekatnya. Sedangkan aku, hanya gadis buruk rupa, bodoh dan pendiam. Saat kami masih sama-sama duduk di bangku SMA, teman-temanku di sekolah tidak pernah menyangka kalau aku dan Lamya adalah kakak beradik, saat itu Lamya disuruh ibu mengirimkan surat ke sekolahku kala aku sakit. Teman-teman sekelasku khususnya murid laki-laki datang mengerubungiku untuk membenarkan hal itu, “Sibba, apa benar cewek yang ngirimin surat sakit kemarin itu adikmu?” tanya Eris antusias, setelah aku sembuh,
“iya, dia adikku, memangnya kenapa?” tanyaku kesal.
“wah, cantik sekali adikmu itu, sungguh berbeda denganmu ya! Boleh tidak kau kenalkan aku pada adikmu itu?” pintanya, membuat hatiku serasa diiris-iris.
 “tidak!” ketusku sambil berlalu.
Aku dan Lamya berbeda sekolah, dia sekolah di SMA negeri favorit, sedangkan aku di SMEA swasta. Perbedaan fisik kami begitu kentara, Lamya yang berkulit putih, berhidung mancung dan berwajah bulat telur tambah manis dengan lesung pipitnya yang menyembul di kala dia tersenyum. Tubuhnya semampai dengan lehernya yang jenjang membuat Lamya mirip dengan aktris cantik Maudy koesnaedy, ditambah dengan rambutnya yang panjang lurus, membuat penampilan fisik Lamya tampak sempurna. Aku tersudut kala para tetanggaku selalu membanding-bandingkan aku dengan adikku yang cantik itu. Aku sadar dengan kondisi fisikku yang tidak begitu menarik, dengan kulit sawo matang, mata yang lebar, dan bentuk wajah yang bulat serta tubuhku yang agak pendek dan sedikit gemuk. Ditambah lagi kemampuan akademikku yang kurang, tak terkecuali matematika. Berbeda dengan adikku yang selalu menjadi peringkat juara umum. Piala-piala di rumahku juga hampir semua diraih Lamya, aku hanya memiliki satu piala saja, itu juga saat aku memenangkan lomba bulu tangkis tingkat RT.
Kini aku kembali terdiam dalam dinginnya hawa malam yang menusuk-nusuk kulit legamku. Berharap ada keajaiban datang padaku, yang hampir berusia dua puluh tahun. Sudah satu tahun aku menganggur selepas SMA, tak ada satupun panggilan kerja yang sudi memanggilku. Aku benar-benar putus asa, hampir saja aku berniat untuk merantau ke Malaysia, berharap jadi TKW. Tapi kuurungkan niat itu karena disamping takut aku juga tidak tega meninggalkan ibu. Ya, aku dominan lebih dekat dengan ibu yang secara fisik gen ibu menonjol di Lamya, fisikku lebih mirip ayah, tapi kasih sayangnya hanya tercurah pada anak perempuan kesayangannya itu. Sedang ibu bersikap netral pada kedua anak perempuannya, tidak seperti ayah yang pilih kasih.
Hari ini adalah hari terbahagia dalam hidupku yang suram, aku diterima kerja di salah satu toko roti. Aku senang bukan kepalang, akhirnya aku tidak akan disebut sampah masyarakat lagi oleh ayah. Aku memakai pakaian terbaikku, celana hitam panjang dan kemeja kotak-kotak serta sepatu pentople warna hitam, aku merasa beberapa senti lebih tinggi.
            Kebahagiaanku juga jelas terlihat kini, di usiaku yang sudah tidak lagi remaja, aku melanjutkan kuliah sambil bekerja, jurusan yang kuambil adalah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku juga kini aktif di Rohis kampus, sedikit demi sedikit aku mulai membenahi penampilanku yang dulunya tomboy menjadi lebih feminine dengan jilbab yang kukenakan. Aku juga mencoba belajar membuang segala jenis penyakit hati yang tersarang di hatiku, salah satunya adalah iri terhadap saudaraku sendiri.
Sedangkan Lamya, dia membuatku dan keluargaku bangga akan prestasinya, setelah lulus kuliah strata satu, dia mendapatkan beasiswa S2 di Glasgow University Inggris, semua rasa iri itu hilang sudah, sungguh kali ini aku benar-benar ikhlas.
***
Lamya
Akhirnya aku mendapatkan beasiswa di universitas impianku! Setelah aku belajar mati-matian dan mengalami banyak prosedur yang bikin pusing, pada akhirnya sang pekerja keraslah yang menang.
Aku sampai tidak bisa memejamkan mataku barang sedetikpun karena sudah tidak sabar untuk segera terbang ke negeri pangeran William. Aku akan membuat ayahku tambah bangga padaku dan menarik perhatian ayah lagi, yang sebelumnya rona kebanggaan ayah beralih ke kakakku yang berhasil melanjutkan kuliah di universitas yang sama denganku sambil bekerja. Memangnya apa bangganya kerja sambil kuliah? Dibandingkan aku yang kini akan melanjutkan S2 ke Glassgow University di Inggris, dengan beasiswa pula. Aku yang patut jadi kebanggan ayah!
Kakakku memang berubah sedikit lebih kalem sejak dia ikutan kegiatan rohis kampus, menurutku penampilan dan pemikirannya sangat kolot, seperti ibu-ibu majlis ta’lim saja, Memakai gamis, jilbab lebar dan selalu menundukan wajah kala bertatap muka dengan pria. Pantas saja sampai saat ini dia belum punya pacar, kalau aku sih, tidak akan tahan, lama-lama jomblo seperti kakakku. Masa pacaran saja gak boleh?
***
Sibba
Kami mendengar kabar bahwa Lamya akan dipulangkan dari Inggris. Hatiku miris, merasa ada yang tidak enak di ulu hati.
Aku seperti tidak mengenal sosok adikku yang cantik kini, matanya sayu dengan lingkar mata yang menghitam, kulitnya tidak semulus dulu, kulit yang kulihat sekarang kering dan tampak terlihat urat-urat yang menyembul di jari-jari tangannya. Rambutnya kusut seperti tidak bertemu air berhari-hari, tubuhnya, aku tak kuasa melihatnya, tubuh semampai indahnya kini hanya tinggal pembungkus tulang saja. Lamya, ada apa denganmu?
Kutahu dari pihak universitas disana, bahwa Lamya dikeluarkan dengan tidak hormat, dia dan beberapa teman bulenya ditangkap di apartemen milik salah satu teman lelakinya, mereka tengah mengadakan pesta sex dan narkoba. Aku bergidik mendengarnya. Adikku yang cantik, kini redup kilaunya.
Aku berusaha menguatkan diri untuk bertemu dengan Lamya di pusat rehabilitasi, kulihat dia sedang duduk melamun sendirian di sebuah bangku bercat putih. Matanya kosong, seolah tidak memiliki cahaya hidup lagi.
“Lamya,” sapaku pelan sambil mengusap rambut lurusnya yang tak terurus. Dia menoleh ke arahku dengan kurang bernafsu, dia menatapku lama, mencoba menerka siapakah gerangan yang berada di hadapannya. Tak terasa air mataku berjatuhan di kedua pipiku, Lamya hanya menatapku kosong. Tak tahan, aku segera memeluk adikku yang sangat aku cintai, erat, seakan aku tidak ingin melepasnya lagi.
***
Tasikmalaya, Desember 2007
NB : Cerpen kedua saat aku duduk di bangku kelas 2 SMK semester dua. Ketika itu aku lagi cinta-cintanya sama majalah annida.