Oleh : Asih Purwanti
Sibba
Bulan
tampak menyembul malu-malu di langit hitam yang tak berbintang, seolah-olah
sang bulan ingin menampilkan sebuah
mahakarya malam. Aku terduduk melamun sendirian menatap sang bulan yang nyaris
bulat penuh, memikirkan nasibku yang tak berubah dari hari ke hari. Sudah
belasan lamaran sudah kusebarkan ke seantero toko dan depertement store, dari
mulai pertokoan milik orang-orang beretnis china sampai toko-toko pakaian milik
orang Padang.
Aku memang harus menelan pil pahit akan
keputusan kedua orang tuaku untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang
kuliah, disamping masalahnya dari segi financial, aku juga harus berusaha untuk
mengalah dan tidak iri melihat adik perempuanku itu melanjutkan universitas.
“kau
tidak usah melanjutkan kuliah saja Sibba!cari pekerjaan saja!” kata ayahku suatu
hari saat aku mengemukakan keinginanku untuk melanjutkan kuliah.
“tapi
yah, aku ingin sekali kuliah, lagian aku pengen jadi guru yah.” Belaku tetap
menginginkan kemauanku.
“jadi
guru, nilai-nilaimu saja pas-pasan, kalau kau mau kuliah biayai saja sendiri!
ayah tidak punya cukup biaya untuk membiayaimu kuliah” sembur ayahku, aku hanya
diam menahan tangis.
Tak dinyana, betapa remuk hatiku
saat kutahu kalau Lamya, adik perempuanku yang hanya terpaut satu tahun
dibawahku itu disuruh oleh ayah untuk melanjutkan kuliah, dengan jurusan yang
kuidam-idamkan.
“yah,
kenapa Lamya disuruh kuliah sedangkan aku tidak?” protesku pada ayah setelah
ayah mendaftarkan Lamya di Universitas Siliwangi.
“adikmu
itu juara kelas, dia pintar, sekolahnya juga sekolah unggulan, sayang kalau
tidak diteruskan” kilah ayahku membuat hatiku panas. Ibuku hanya terdiam seraya
mengusap-usap rambut tipisku.
“Apakah aku anak pungut?” kataku
pada ibu saat ayahku membelikan laptop untuk Lamya, sedangkan aku tidak. Ibu
hanya berusaha untuk menenangkanku dengan segala nasihat agar jangan iri pada
saudara sendiri. Aku mulai merasakan kalau kasih sayang ayah hanya untuk Lamya,
terlebih aku hanya jadi pengganggu saja.
Lamya
memang gadis yang istimewa, selain dia memiliki wajah yang cantik, dia juga cerdas
dan supel. Membuat orang lain ingin berada di dekatnya. Sedangkan aku, hanya
gadis buruk rupa, bodoh dan pendiam. Saat kami masih sama-sama duduk di bangku
SMA, teman-temanku di sekolah tidak pernah menyangka kalau aku dan Lamya adalah
kakak beradik, saat itu Lamya disuruh ibu mengirimkan surat ke sekolahku kala
aku sakit. Teman-teman sekelasku khususnya murid laki-laki datang
mengerubungiku untuk membenarkan hal itu, “Sibba, apa benar cewek yang ngirimin
surat sakit kemarin itu adikmu?” tanya Eris antusias, setelah aku sembuh,
“iya,
dia adikku, memangnya kenapa?” tanyaku kesal.
“wah,
cantik sekali adikmu itu, sungguh berbeda denganmu ya! Boleh tidak kau kenalkan
aku pada adikmu itu?” pintanya, membuat hatiku serasa diiris-iris.
“tidak!” ketusku sambil berlalu.
Aku
dan Lamya berbeda sekolah, dia sekolah di SMA negeri favorit, sedangkan aku di
SMEA swasta. Perbedaan fisik kami begitu kentara, Lamya yang berkulit putih,
berhidung mancung dan berwajah bulat telur tambah manis dengan lesung pipitnya
yang menyembul di kala dia tersenyum. Tubuhnya semampai dengan lehernya yang
jenjang membuat Lamya mirip dengan aktris cantik Maudy koesnaedy, ditambah
dengan rambutnya yang panjang lurus, membuat penampilan fisik Lamya tampak
sempurna. Aku tersudut kala para tetanggaku selalu membanding-bandingkan aku
dengan adikku yang cantik itu. Aku sadar dengan kondisi fisikku yang tidak
begitu menarik, dengan kulit sawo matang, mata yang lebar, dan bentuk wajah
yang bulat serta tubuhku yang agak pendek dan sedikit gemuk. Ditambah lagi
kemampuan akademikku yang kurang, tak terkecuali matematika. Berbeda dengan
adikku yang selalu menjadi peringkat juara umum. Piala-piala di rumahku juga
hampir semua diraih Lamya, aku hanya memiliki satu piala saja, itu juga saat aku
memenangkan lomba bulu tangkis tingkat RT.
Kini
aku kembali terdiam dalam dinginnya hawa malam yang menusuk-nusuk kulit
legamku. Berharap ada keajaiban datang padaku, yang hampir berusia dua puluh
tahun. Sudah satu tahun aku menganggur selepas SMA, tak ada satupun panggilan
kerja yang sudi memanggilku. Aku benar-benar putus asa, hampir saja aku berniat
untuk merantau ke Malaysia, berharap jadi TKW. Tapi kuurungkan niat itu karena
disamping takut aku juga tidak tega meninggalkan ibu. Ya, aku dominan lebih
dekat dengan ibu yang secara fisik gen ibu menonjol di Lamya, fisikku lebih
mirip ayah, tapi kasih sayangnya hanya tercurah pada anak perempuan kesayangannya
itu. Sedang ibu bersikap netral pada kedua anak perempuannya, tidak seperti
ayah yang pilih kasih.
Hari
ini adalah hari terbahagia dalam hidupku yang suram, aku diterima kerja di
salah satu toko roti. Aku senang bukan kepalang, akhirnya aku tidak akan
disebut sampah masyarakat lagi oleh ayah. Aku memakai pakaian terbaikku, celana
hitam panjang dan kemeja kotak-kotak serta sepatu pentople warna hitam, aku
merasa beberapa senti lebih tinggi.
Kebahagiaanku juga jelas terlihat
kini, di usiaku yang sudah tidak lagi remaja, aku melanjutkan kuliah sambil
bekerja, jurusan yang kuambil adalah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Aku juga kini aktif di Rohis kampus, sedikit demi sedikit aku mulai membenahi
penampilanku yang dulunya tomboy menjadi lebih feminine dengan jilbab yang
kukenakan. Aku juga mencoba belajar membuang segala jenis penyakit hati yang
tersarang di hatiku, salah satunya adalah iri terhadap saudaraku sendiri.
Sedangkan
Lamya, dia membuatku dan keluargaku bangga akan prestasinya, setelah lulus
kuliah strata satu, dia mendapatkan beasiswa S2 di Glasgow University Inggris,
semua rasa iri itu hilang sudah, sungguh kali ini aku benar-benar ikhlas.
***
Lamya
Akhirnya
aku mendapatkan beasiswa di universitas impianku! Setelah aku belajar
mati-matian dan mengalami banyak prosedur yang bikin pusing,
pada akhirnya sang pekerja keraslah yang menang.
Aku
sampai tidak bisa memejamkan mataku barang sedetikpun karena sudah tidak sabar
untuk segera terbang ke negeri pangeran William. Aku akan membuat ayahku tambah
bangga padaku dan menarik perhatian ayah lagi, yang sebelumnya rona kebanggaan
ayah beralih ke kakakku yang berhasil melanjutkan kuliah di universitas yang
sama denganku sambil bekerja. Memangnya apa bangganya kerja sambil kuliah?
Dibandingkan aku yang kini akan melanjutkan S2 ke Glassgow University di
Inggris, dengan beasiswa pula. Aku yang patut jadi kebanggan ayah!
Kakakku
memang berubah sedikit lebih kalem sejak dia ikutan kegiatan rohis kampus,
menurutku penampilan dan pemikirannya sangat kolot, seperti ibu-ibu majlis
ta’lim saja, Memakai
gamis, jilbab lebar dan selalu menundukan wajah kala bertatap muka dengan pria.
Pantas saja sampai saat ini dia belum punya pacar, kalau aku sih, tidak akan
tahan, lama-lama jomblo seperti kakakku. Masa
pacaran saja gak boleh?
***
Sibba
Kami mendengar
kabar bahwa Lamya akan dipulangkan dari Inggris. Hatiku miris, merasa ada yang
tidak enak di ulu hati.
Aku
seperti tidak mengenal sosok adikku yang cantik kini, matanya sayu dengan
lingkar mata yang menghitam, kulitnya tidak semulus dulu, kulit yang kulihat
sekarang kering dan tampak terlihat urat-urat yang menyembul di jari-jari
tangannya. Rambutnya kusut seperti tidak bertemu air berhari-hari, tubuhnya,
aku tak kuasa melihatnya, tubuh semampai indahnya kini hanya tinggal pembungkus
tulang saja. Lamya, ada apa denganmu?
Kutahu
dari pihak universitas disana, bahwa Lamya dikeluarkan dengan tidak hormat, dia
dan beberapa teman bulenya ditangkap di apartemen milik salah satu teman
lelakinya, mereka tengah mengadakan pesta sex dan narkoba. Aku bergidik
mendengarnya. Adikku yang cantik, kini redup kilaunya.
Aku
berusaha menguatkan diri untuk bertemu dengan Lamya di pusat rehabilitasi,
kulihat dia sedang duduk melamun sendirian di sebuah bangku bercat putih.
Matanya kosong, seolah tidak memiliki cahaya hidup lagi.
“Lamya,”
sapaku pelan sambil mengusap rambut lurusnya yang tak terurus. Dia menoleh ke
arahku dengan kurang bernafsu, dia menatapku lama, mencoba menerka siapakah
gerangan yang berada di hadapannya. Tak terasa air mataku berjatuhan di kedua
pipiku, Lamya hanya menatapku kosong. Tak tahan, aku segera memeluk adikku yang
sangat aku cintai, erat, seakan aku tidak ingin melepasnya lagi.
***
Tasikmalaya,
Desember 2007
NB : Cerpen kedua saat aku duduk di bangku kelas
2 SMK semester dua. Ketika itu aku lagi cinta-cintanya sama majalah annida.